Breaking News
Loading...
Wednesday, July 9, 2014

Info Post

“Ah orang ini!” gerutuku melihat kemunculannya yang secara tiba-tiba. Dari dalam tuanku membuka pintu untuk orang ini. Alangkah kagetnya tuanku dengan kedatangan orang ini yang muncul secara tiba-tiba yang tergambar dari raut muka tuanku.
Kemudian ia dipersilakan tuanku masuk. Ia langsung memilih duduk di depan jendelaku yang terbesar. Karena tuanku dan orang ini senang sekali bersenda gurau ataupun belajar bersama di depan jendelaku ini. Mungkin suasana yang sejuk dan pemandangan yang menakjubkan.
Orang ini adalah sahabat tuanku masa kecil. Entah sudah berapa lama ia tak main ke sini lagi setelah kepindahannya ke luar kota mengikuti ayahnya yang dipindah kerjanya. Katanya dia meminta karena dalam kurun yang lama belum bias main ke sini lagi.
“Busit” kataku mendengar permintaan maaf yang keluar dari mulut orang itu. Entah mengapa aku sedikit tidak suka dengan orang ini.
“Ada gerangan apa kau kemari?” Tanya tuanku datar
“Ingin menyambung persahabatan kita lagi sekaligus permintaan maaf”
“Ciyus?” kata tuanku menirukan iklan teve “memang jika itu tujuanmu ke sini kenapa baru sekarang. Setelah 15 tahun ayahmu pensiun dan kembali menetap ke kampung ini yang jaraknya  hanya 17 kilometer dari sini” lanjut tuanku.
Dia hanya senyum yang membuatku semakin muak saja melihat wajahnya. “Ah, senyum palsu!” celetukku.
 #####
Seingatku ia dulu akrab sekali dengan tuanku ini. Aku tahu itu, karena aku menyaksikan perkembangan mereka di sini. Dulu tuanku sering bersama dia baik itu berangkat sekolah bersama sampai belajar bersama, tak lupa main pun bersama.
Malam hari dia ke sini guna belajar bersama dengan tuanku yang hanya diterangi lampu sentir yang diletakkan di atas meja. Di samping mereka belajar ada tuan besarku yang duduk santai sembari menikmati secangkir kopi ditemani rokok lintingan yang segede jempolan kaki. Tapi seolah dunia ini miliknya sendiri, tebakku. Sedangkan tuan mami berada di sudut ruangan sedang menyelesaikan pekerjaannya, biar esok siap tuk dijual di pasar kota.
Mungkin karena keharmonisan keluarga tuanku ini dia nyaman tambah betah di sini. Siang main ke sini, malam pun tak pernah absen dari sini.
Biasanya setelah belajar usai, tuanku menyuruh dia pulang karena tuanku hendak pergi main bola api dengan teman-temannya di dekatku sini. Ia beberapa kali merenggek minta ikut, tapi keluarga tuanku melarang. Ia mungkin sering mendengar cerita anak-anak menonton atau malah bias ikut bermain bola api itu seru sekali. Sayangnya tuanku tak pernah mau mengajaknya karena takut dimarahi oleh ayahnya. Tapi malam itu ia benar-benar nekat mau ikut dan berjanji tak kan merepotkan tuanku. Akhirnya tuanku tak kuasa menolak permintaan temannya itu.
“Kau tak ganti baju?” Tanyanya heran melihat tuanku yang seharian memakai baju seragam batik yang tadi dipakai untuk tuan sekolah. Seharusnya ia bias memaklumi itu, keluarga tuanku ini orang golongan kelas bawah tak seperti keluargamu orang yang terpandang di kampung ini.
“Tanggung,” jawab tuanku.
Tuanku langsung berangkat ke area sawah di dekatku yang biasa tuanku dan teman-temannya dialihfungsikan menjadi lapangan bola api. Di sana sudah berkumpul teman-teman tuanku. Langsung saja permainan dimulai.
“Ternyata di sini rame sekali, kirain cuma aku yang menjadi penontonnya” katanya sayup-sayup terdengar olehku.
Memang di area itu menjadi rame setiap permainan bola api dilakukan, bukan hanya anak-anak yang menonton, bapak-bapak pun banyak. Karena permain bola api ini membuat suasana malam menjadi indah dan elok.
Seperempat jam kemudian terjadilah peristiwa yang di luar dugaan teman kecil tuanku ini, bola api meluncur ke arahnya, ia panic akan keadaan itu. Belum sempat ia menghindar bola air sudah duluan menghantamnya, terbakarlah baju serta orangnya.
Tuanku seketika berteriak “Berguling! Berguling!” sambil berlari ke arahnya dan melepas seragam batik guna memadamkan api di punggungnya. Sulit dilukiskan rasanya kejadian itu. Malam yang ia kira akan seru dan mengasyikkan justru berubah menjadi malam yang mencekam!
Ketika akhirnya api bisa dipadamkan. Tuanku segera menyelimuti badannya dengan seragam batik itu, karena separuh bajunya habis terbakar. Tuanku segera tanggap dan menggendongnya pulang sambil berlari supaya cepat diberi pertolongan. Nafasnya tersengal-sengal rasanya tak kuat, tapi tanggung jawab memberinya kekuatan untuk cepat sampai rumah. Tapi saying sesampainya di sana tuanku malah dicaci maki oleh orang tuanya. Sampai di sini terlihat bekas tamparan membekas di wajah tuanku.
kata tuanku ia lansung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Dan celakanya seragam batik yang untuk menyelimuti tubuh teman tuanku lupa tak diambil. Sebab kejadian itu tuanku setiap hari baru kamis selalu absen, karena tak punya seragam batik untuk sekolah. Parahnya itu teman tuanku kok ya gak mau menganti seragam yang pernah menyelamatkan nyawanya itu lo, heran aku dibuatnya.
Mungkin kenangan itu yang mereka sedang kenang sekarang ini. Terlihat mereka tersenyum-senyum sendiri sampai-sampai terdengar gelak tawa yang membahana.
Tuanku mengajak temannya itu untuk makan siang bersama keluarga tuanku di ruangan belakang. Di sela-sela makan itu tuanku mulai bercerita tentang masalah yang baru saja membelitnya. Sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua sudah tergadai dan akan jatuh tempo.
“Kau masih ingat dengan Kakakku, ia masih sama seperti dulu. Sifatnya itu tak pernah berubah”
“Pasti ini semua perbuatannya!?”
Tuanku hanya bisa mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah ini adalah harta kami satu-satunya yang paling berharga. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak bisa menolak kemauannya menggadaikan rumah dan tanah ini untuk mendapatkan modal usahanya.” Cerita tuanku menumpahkan amarahnya yang selama ini ia pendam. “Aku peduli dan percaya dengannya. Tapi, apa yang aku dapat darinya? Dia malah mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini masalah itu disuruh aku menanggungnya sendirian.” Lanjutnya sambil menitikan air mata.
#####
“Kami akan bertahan” kata tuanku tersenyum saat melepasnya setelah hari beranjak sore.
Keluar dari sini ia sepertinya kepikiran dengan nasib tuanku, tapi sepertinya tidak. Mbuh lah! Lah wong dia meraba pakaiannya sendiri seketika itu. Aku baru sadar bahwa yang dia kenakan itu bukanlah baju santai atau baju biasa. Baju itu merupakan seragam dinas. Sepertinya itu seragam dinas milik jaksa yang biasa menangani kasus perdata, seperti rumah dan tanah yang sudah digadaikan.
Ah apa mungkin ia yang akan mengeksekusi pengosongan di sini. Sungguh tak tahu malu dengan kata persahabatan yang baru saja ia perbaiki. (Sahrul Mujib Tbn)
*Terinpirasi oleh cerpen Seragam Kompas Minggu ini.

0 comments:

Post a Comment